Kitab Al-Hikam (arti bahasanya adalah jamak dari hikmah) adalah karya seorang Syaikh Ibnu Aththoillah, seorang yang karena rahmat Allah telah suci qalb/hati beliau dari penguasaan hawa nafsu, syahwat, cinta materi. Dalam beberapa untaian hikmahnya, beliau menggunakan bahasa yang menggambarkan pengalaman penyaksian mata bashirah beliau. Penglihatan bashirah ini jika diverbalkan biasanya menggunakan metafora (perumpamaan) padahal sesungguhnya dalam alam malakut hal itu adalah maujud/berwujud.
Sebaiknya ketika kita mengkaji karya-karya para ulama tashawwuf yang suci, sebisa mungkin kita mampu mengontrol pikiran kita terhadap kejahatan hawa nafsu kita, misalnya berprasangka buruk, menghakimi salah dengan tanpa ilmu, dsb. Insya Allah dengan kewaspadaan ini, Allah akan membimbing dan merahmati kita.
Dengan membaca Bismillahirrahmannirahim, serta kalau sahabat-sahabat tidak berkeberatan mengirimkan fadhillah/keutamaan bacaan QS. Al-Fatihah kepada Sang Syaikh Ibnu Aththoillah dan Ustadz Salim Bahreisy, mari kita awali kajian dan renungan kita.
Hikmah no 1
“Setengah dari tanda bahwa seorang itu bersandar diri pada kekuatan amal upayanya, ialah berkurangnya pengharapan terhadap rahmat karunia Allah ketika terjadi suatu dosa padanya.”
Tambahan dalam buku terjemahan Al-Hikam oleh Ustadz Salim Bahreisy, di hal 10-11:
Kalimat: Laa ilaha illallah (tiada Tuhan selain Allah), berarti tidak ada tempat, berlindung, berharap kecuali Allah. Tiada yang menghidupkan dan mematikan, tiada yang member dan menolak melainkan Allah.
Dhohirnya syariat menyuruh kita berusaha beramal, sedang hakikat syariah melarang kita menyandarkan diri pada amal usaha itu, agar tetap bersandar kepada karunia rahmat Allah.
Kalimat: Laa haula wa laa quwwata illa billahi (tiada daya dan kekuatan selain Kekuatan Allah), tak ada daya untuk mengelakkan diri dari bahaya kesalahan. Dan tak ada kekuatan untuk berbuat amal kebaikan kecuali dengan bantuan pertolongan Allah dan karunia rahmat-Nya semata-mata.
Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal”. Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?”(QS. Yunus [10]:59)
Sedang bersandar pada amal usaha sendiri itu berarti lupa pada karunia rahmat Allah yang memberi taufiq hidayah kepadanya yang akhirnya pasti ia ujub, sombong, merasa sempurna diri, sebagaimana yang telah terjadi pada Iblis ketika diperintahkan bersujud kepada Adam as, ia berkata:”Aku lebih baik dari dia (Adam)”
Juga telah terjadi pada Qarun yang berkata:”Seseungguhnya aku memperoleh kekayaan ini karena ilmuku semata-mata.” (QS. Al-Qashash[28]:78)
Apabila kita dilarang menyekutukan Allah dengan berhala, batu, kayu, pohon, binatang dan manusia, maka janganlah menyekutukan Allah dengan kekuatan diri sendiri, seolah-olah merasa sudah cukup kuat dan dapat berdiri sendiri tanpa pertolongan Allah, tanpa rahmat taufiq hidayah dan karunia Allah.
Sedangkan kita hendaknya meneladani Nabi Sulaiman as. ketika bersyukur mendapat istana Ratu Bilqis.
Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barang siapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”.(QS. An-Naml[27]:40)
Nah, sahabat-sahabat….
Mari kita introspeksi diri kita sambil merenungi hikmah di atas. Semoga Allah senantiasa membimbing serta merahmati kita untuk dapat mengerti dan mengamalkannya.
Wallahu a’lam bi shawwab
Dengan membaca Bismillahirrahmannirahim, serta kalau sahabat-sahabat tidak berkeberatan mengirimkan fadhillah/keutamaan bacaan QS. Al-Fatihah kepada Sang Syaikh Ibnu Aththoillah dan Ustadz Salim Bahreisy, mari kita awali kajian dan renungan kita.
Hikmah no 3
“Kekerasan himmah itu, tidak dapat menembus tirai takdir.”
Pengertian himmah
Menurut Ibnu Qoyyim ra., bahwa himmah adalah awal hasrat. Secara khusus, orang-orang mengartikannya sebagai puncak hasrat. Hammu adalah permulaan hasrat, dan himmah adalah puncak hasrat.
Ustadz Salim Bahreisy dalam terjemahnya menambahkan dengan mengutip ayat-ayat Al-Quran berikut:
“Al Qur’an itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam, (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.”(QS. At-Takwir [81]:27-29)
Juga,
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Insan [76]:30)
Dalam Al-Quran, persoalan takdir Allah firmankan dengan serangkaian ayat-ayat-Nya yang membutuhkan qalb/hati yang suci dari penyakit-penyakitnya serta akal nalar yang memenuhi kaidah mantiq/hukum logika yang tertib. Karena seandainya kita memahami ayat-ayat tersebut sepotong-sepotong dan tidak menganalisis secara nalar dengan paripurna, ditambah kemudian hati kita sedang terkuasai oleh penyakit melampiaskan hawa nafsu diri, maka kita pun akan salah dalam menangkap makna takdir seperti yang Allah kehendaki.
Sekedar menambah wawasan kita tentang takdir dalam Al-Quran, terdapat ayat-ayat yang menerangkan bahwa Allah-lah yang memberi hidayah/petunjuk atau pun menyesatkan kepada kita, misalnya:
“Maka apakah orang yang dijadikan menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik? Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. Fathir[35]:8)
Namun pada ayat-ayat lainnya disebutkan bahwa kita yang hendaknya mengubah keadaan diri kita.
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS.Ar-Ra’d[13]:11)
Dalam memahami persoalan takdir yang nampak rumit namun penting dalam kehidupan kita, sesungguhnya kita (saya lebih tepatnya) benar-benar memerlukan bimbingan seorang guru yang telah memperoleh kesempurnaan ma’rifatullah.
Nah, dalam hikmah no 3 di atas, Syaikh Ibnu Aththoillah ra., seorang yang qalb-nya telah mencapai kesempurnaan ma’rifatullah menyampaikan bahwa sekuat apa pun himmah kita, hal itu tidak akan mampu menembus takdir diri kita.
Dengan senantiasa memohon rahmat dan bimbingan Allah, marilah kita merenungkan serta berusaha mengamalkan hikmah tersebut. Semoga Allah meridhoi kita. Amiin.
Wallahu a’lam bi shawwab (Dan Allah-lah yang Paling berilmu dengan Kebenaran-Nya) []
Setelah kita mulai belajar merenungkan dan berjuang mengamalkannya setahap demi setahap hikmah-hikmah yang penuh kedalaman makna dari seorang shiddiqin, yaitu Syaikh Ibnu Aththoillah ra. marilah kita melanjutkannya ke hikmah berikutnya.
Dengan membaca Bismillahirrahmannirahim, serta kalau sahabat-sahabat tidak berkeberatan mengirimkan fadhillah/keutamaan bacaan QS. Al-Fatihah kepada Sang Syaikh Ibnu Aththoillah dan Ustadz Salim Bahreisy, mari kita awali kajian dan renungan kita
Hikmah no 4
“Istirahatkan dirimu dari at-tadbir(kerisauan mengatur kebutuhan), sebab apa yang sudah dijaminkan/diselesaikan oleh selainmu, tidak perlu engkau sibuk memikirkannya.”
Ustadz Salim Bahreisy menambahan dalam buku terjemahannya di hal 14:
Sebagai seorang hamba, kita wajib dan harus melulu mengenal kewajiban, sedang jaminan upah/balasan ada di tangan majikan, maka tidak usah merisaukan pikiran maupun perasaan untuk mengatur (tadbir), karena mengkhawatirkan apa yang telah dijaminkan itu tidak tiba, atau terlambat. Sebab ragu terhadap jaminan Allah adalah tanda kurangnya iman kita.
Sahabats,
Marilah kita menyadari bahwa kalimat hikmah tersebut keluar dari seorang yang pengenalannya (ma’rifat) kepada Allah beserta Af’al, Shifat dan Asma-Nya telah mencapai maqam/tingkat yang jauh di atas maqam kita, yaitu kesempurnaan atas seizin Allah.
Beliau yang telah mengenal bahwa Allah adalah Rabb yang sempurna Pemeliharaan serta Pemberian Rezeki-Nya kepada makhluk-makhluknya, menasihatkan kepada kita yang seringkali kelalaian kita menyebabkan kurang yakinnya kita atas Pemeliharaan serta Penjaminan rezeki kita oleh Allah.
Hendaknya kesibukan kita lebih berfokus pada penyempurnaan penunaian kewajiban-kewajiban kita kepada Allah, sebab Dia, Rabb yang sekaligus Ar-Raazak pasti akan membalas penunaian kewajiban tersebut dengan anugrah-Nya yang akan mencukupi kebutuhan kita.
Di antara kewajiban kita yang telah Allah firmankan dalam Al-Quran antara lain,
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (QS. ThaaHa [20]:14)
”…Katakanlah: “Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan menunjuki orang-orang yang bertobat kepada Nya”, (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’ad [13]:28)
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (QS. Al-A’raaf [7]:172)
Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar; agama Ibrahim yang lurus; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik”.Katakanlah: “Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am [6]:161-162)
“Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 45-46)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang lubb-nya aktif (ulil albab), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran [3]: 190-191)
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kami lah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. ThaaHaa [20]:132)
Laa haula wa laa quwwata illa billahil ‘Aliyyul ‘Adhim.
Wa Allahu A’lam bi shawwab. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar